Monumen Gorom : Sebuah Penjajahan atau Kemerdekaan?


 Oleh : Yabunaya Salsabila Yuniar

Beberapa waktu yang lalu, saya berkunjung ke Museum Kepolisian Negara  Republik Indonesia. Saya berkunjung siang hari, mendekat jam 12 siang bersama orangtua saya.  Museum Kepolisian Negara Republik Indonesia ini singkatnya dipanggil Museum Polri. Museum yang beralamat di Jl. Trunojoyo No.3, RT.5/RW.2, Selong, Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan (tepatnya di dalam Komplek Markas Besar Polri) ini letaknya sangat dekat dengan sekolah SMA Labschool Kebayoran. Walaupun letaknya yang strategis dan sering saya lewati, saya tak pernah sekalipun mengunjungi Museum Polri ini.

Museum Polri  adalah inisiatif yang dicetuskan Kepala Polri (Kapolri) Jendral Polisi Bambang Hendarso Danurti dengan tujuan melestarikan nilai-nilai kesejarahan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Poklri) dan pewarisannya untuk generasi mendatang. Museum tersebut kemudian diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyno pada 1 Juli 2009. Untuk memasuki Museum ini, pengunjung tidak perlu membayar biaya sepeser pun. Cukup menyerahkan kartu identitas seperti kartu pelajar atau kartu tanda penduduk, pengunjung sudah bisa menikmati semua koleksi yang ada di Museum Polri. Namun, untuk semua tas harus dititipkan ke bagian respsionis Museum.

Di depan Museum ini, berdiri patung Soekanto Tjokrodiatmojo. Beliau merupakan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Karena menjabat sebagai Kepala Polri pertama, beliau mendapat gelar sebagai Bapak Kepolisian Indonesia. Bapak Soekanto Tjokrodiatmojo menjabat sebagai Kepala Polri cukup lama, yaitu selama 14 tahun. Beliau dianggap telah meletakkan dasar kepolian modern di Indonesia.

Saat saya mengunjungi Museum tersebut, tak ada banyak orang yang berkunjung. Mungkin belum banyak pengunjung yang mengenai keberadaan museum ini atau belum menjadikannya sebagai objek wisata pilihan. Padahal suasananya adem karena berpendingin ruangan plus jika dibandingkan dengan museum-museum lainnya, karena tergolong baru, desainnya pun modern. Saat baru masuk, pengunjung akan bertemu dengan dinding besar yang dibuat seperti bendera negara kita. Di dinding ini tercantum Tribrata dan Catur Prasetya yang menjadi pedoman hidup dan pedoman kerja setiap polisi. Di bagian putih tercantum daftar nama anggota polisi yang gugur dalam berbagai peristiwa di Nusantara.

Pertama-tama saya mengelilingi lantai 1 museum tersebut. Di Lantai itu , saya menemukan banyak diorama-diorama kejadian penting bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, ada juga koleksi pedang, patung pasukan Jepang dan Belanda dan Hall of Fame Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hall of Fame tersebut berisi foto serta profil Kapolri dari awal terbentuknya Polri hingga sekarang.


                                                        

Gambar 1 : Lukisan Mantan Kapolri

Kemudian, saya menjelajahi lantai lainnya. Disajikan lambang Polri dan maknanya, perubahan-perubahan pada  seragam Polri dari masa ke masa, sejarah Bhayangkari, dan aksi satuan polisi dalam memerangi terorisme. Selain itu, terdapat juga peninggalan-peninggalan dan barang-barang pelaku terorisme seperti paspor pelaku Bom Bali, Imam Samudra. Ada salah satu artefak yang saya tidak bisa lewatkan, yaitu  miniatur Monumen Gorom, sebagai kenangan keterlibatan POLRI selama operasi Trikora pada 1962 yang dimulai dari Pulau Gorom.

                                                                 Image result for monumen gorom miniatur]

            Gambar 2 :  Miniatur monumen Gorom

TRIKORA merupakan singkatan dari Tri Komando Rakyat. Tri Komando Rakyat ini adalah sebuah komando yang diserukan Presiden Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, untuk membebaskan provinsi Irian Barat. Seruan ini dipicu oleh sikap arogansi Belanda setelah deklarasi Kemerdekaan RI, yang masih mengklaim wilayah Irian Barat sebagai bagian dari kekuasaannya. Perseteruan ini pun berusaha dipecahkan dengan membawanya ke berbagai forum internasional, namun berjalan cukup alot.

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, pembahasan mengenai sengketa Irian Barat sama sekali tidak menghasilkan titik temu. Akhirnya dikeluarkan keputusan bahwa permasalahan ini akan dibahas kembali dalam satu tahun mendatang.

Di tahun 1950, PBB mengeluarkan keputusan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka namun Indonesia kukuh dengan pendiriannya bahwa Irian Barat adalah bagian dari Indonesia. Belanda akhirnya  mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa wilayah ini, namun Indonesia dengan tegas menolaknya  dan mulai melancarkan beberapa kali serangan ke wilayah tersebut.

Adanya serangan dari Indonesia membuat Belanda semakin mempercepat proses kemerdekaan Irian Barat, di antaranya adalah dengan membangun kekuatan militer, melalui pendirian akademi angkatan udara dan pembentukan tentara Papua pada rentang tahun 1956-1957. Indonesia menganggap tindakan Belanda ini mengancam kedaulatannya , membuat  pemerintah Indoneaia  mengeluarkan beberapa kebijakan strategis, mulai dari yang berkaitan dengan ekonomi dan  perdagangan, budaya, hingga pemutusan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960.

Presiden Soekarno  menyerukan komando pembebasan Irian Barat yang disebut TRIKORA, dengan isi sebagai berikut:

1.              Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda
2.              Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat tanah air Indonesia
3.              Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa

Tahap pertama dari TRIKORA adalah tahap operasi infiltrasi. Tahap ini dimulai pada tanggal 13 januari 1962, dengan misi rahasia penyusupan pasukan RI ke Irian Barat menggunakan kapal perang.  Indonesia mengerahkan armada lautnya dengan mengirimkan KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Konvoi tersebut terdeteksi oleh pesawat NEPTUNE Angkatan Laut Belanda sehingga mengakibatkan pecahnya pertempuran di Laut Aru.

Pertempuran di Laut Aru ini kemudian menenggelamkan KRI Macan Tutul dan menewaskan Yos Sudarso, salah satu pahlawan Nasional Indonesia. Kegagalan dari strategi ini membuat Indonesia menyiapkan serangan balasan berupa OPERASI JAYA WIJAYA, yaitu operasi amphibi terbesar sepanjang sejarah Indonesia, dengan mengerahkan 16.000 pasukan, ratusan pesawat tempur, dan kapal perang. 

Dengan rimba Irian Barat yang sangat sulit, strategi infiltrasi kemudian  diubah dengan memfokuskan pada operasi angkatan udara. Para penerjun diinstruksikan untuk menyusup ke daerah lawan untuk mengacaukan situasi dari dalam dan memancing pasukan lawan merangsek ke tengah. Ketika perhatian teralihkan, pasukan lain akan didaratkan dari pantai dengan misi merusak radar milik Belanda. 

Di tahap kedua adalah tahap dimana trategi yang dikerahkan adalah pertempuran terbuka yang bertujuan menyerang dan menyabotase objek-objek vital milik Belanda di Irian Barat. Di tahap ini pula, Indonesia melakukan pendekatan kepada dua negara terkuat di dunia yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat untuk meminta bantuan alat perang. Namun, Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian Barat. Amerika menganggap hal ini akan menggantikan penjajahan kulit putih ke penjajahan kulit coklat. Karena pendekatan dengan Amerika Serikat gagal, maka Indonesia memfokuskan bernegosiasi ke Blok Timur, yaitu Uni Soviet. Salah satu caranya adalah dengan mengirim A.H Nasution ke Moskwa. Akhirnya, Uni Soviet bersedia menyediakan sejumlah peralatan perang yang bernilai 2,5 Milliar Dollar Amerika dengan sistem pembayaran jangka panjang.

Operasi kemudian dilanjutkan dengan mengerahkan ribuan pasukan dan armada, perang seperti satuan kapal perang ALRI, berupa 12 kapal selam dan KRI IRIAN 201, yaitu kapal penjelajah bernama Svedrlov Vlass Cruisser berbobot 16.640 ton yang bisa memuat 1.270 awak. Kapal ini merupakan kapal perang terbesar yang pernah dimiliki Indonesia, yang dijual khusus oleh Uni Sovyet. Selain itu, Indonesia juga mengerahkan lagi ratusan pesawat tempur dalam operasi ini.

Besarnya jumlah pasukan dan peralatan perang yang dimiliki menjadikan Indonesia sebagai negara di belahan bumi selatan yang memiliki angkatan perang paling kuat.

Keterlibatan Uni Sovyet akhirnya mengundang perhatian Amerika Serikat yang merupakan sekutu dari Belanda. Presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena ia  mengkhawatirkan di iklim perang dingin yang terjadi saat it, Blok Timur akan mengambil keuntungan dari konflik tersebut.

Amerika pun kemudian mendesak Belanda untuk merundingkan sengketa Irian Barat dan akhirnya diadakanlah “Persetujuan New York” pada tanggal 15 Agustus 1962 . Perundingan ini dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York. Perwakilan Indonesia pada Perundingan tersebut merupakan Soebandrio. Sementara itu, perwakilan dari Belanda terdiri dari dua orang yaitu Jan Herman van Roijen dan C.W.A Schurmann. Persetujuan New York ini menyatakan bahwa Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).

Selama masa peralihan, bendera PBB lah yang akan dikibarkan di sana. PBB juga yang akan menangani berbagai urusan yang berkaitan dengan keamanan, serta keputusan masyakat Papua mengenai keinginannya bergabung atau berpisah dengan Indonesia. Adapun masa penentuan tersebut akan dilakukan sebelum 1969.

Sebelum masa penentuan tersebut berakhir, Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan Melarang bendera Papua dikibarkan. Hal ini tentunya menyulut amarah dari banyak pihak di Papua dan melahirkan Organisasi Papua Merdeka. Pemerintah Indonesia dilaporkan melakukan penahanan, pembantaian serta penyiksaan dalam usaha meredam gerakan separatis ini.

Pada tahun 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pun  diselenggarakan. Hasilnya, Papua bergabung dengan Indonesia dan menjadi provinsi ke-26 Republik Indonesia, dengan nama Irian Jaya. Penentuan Pendapat Rakyat ini juga diamankan pelaksanaannya oleh pihak kepolisian. Terdapat juga beberapa senjata yang digunakan untuk mengamankan Pepera di Museum Polri ini.

Bagi Indonesia, bergabungnya Papua merupakan awal dari utuhnya NKRI. Namun Bagaimana dengan pihak Papua? Pada kenyataannya, ada banyak protes yang timbul dari Pepera ini. Generasi muda Papua menganggap kegiatan Pepera ini merupakan usaha penjajahan Bangsa Indonesia terhadap bangsa Papua. Karena menurut pihak Papua dalam prosesnya, banyak pemimpin rakyat Papua yang diancam dan dimanipulasi agar mau bergabung dengan Indonesia.





Gambar 3 : Senjata yang digunakan untuk pengamanan Pepera







Comments

Popular posts from this blog

Kunjungan Asik Ke Bromo

Hari Paling Berkesan Saat Studi Lapangan

TUGU PROKLAMASI