Museum PETA
Museum PETA
Oleh : Farrell Hafizh Fathana Pribadi / XI IPS 1
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepangdi Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soehartodan Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat(BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Karena hal ini, PETA banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran"Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit(lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepangdengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesiasangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tujuan utama pendirian PETA memang tidak semata-mata untuk menyiapkan Indonesia merdeka. Para pemuda dan laki-laki dewasa dilatih fisiknya dengan cukup keras. Mereka dipersiapkan sebagai prajurit perang yang akan melengkapi kekurangan armada perang Jepang menghadapi sebuah perang Besar. Dikhawatirkan oleh Jepang, Amerika Serikat mencari sekutu baru hingga kekuatannya berkali lipat lebih besar. Dengan armada Amerika yang kuat dan kecanggihan peralatannya terus diperbaharui, tidak mungkin Jepang dapat bertahan tanpa tambahan prajurit yang siap dikorbankan.
Namun di sisi lain, Jepang mendidik anggota PETA untuk mencintai tanah airnya sendiri. Dikatakannya bahwa latihan yang dilakukan tersebut akan bermanfaat untuk melindungi tanah air Indonesia suatu hari nanti ketika Indonesia terancam diserang negara lain. Masih banyak negara luar yang menginginkan Indonesia menjadi negara koloninya lagi. Tanah yang subur, masyarakat ramah dan masih bodoh menjadikan Indonesia sebagai lahan investasi yang amat menjanjikan.
Keanggotaan PETA terdiri dari para pemuda berbagai tingkatan. Rata-rata anggotanya merupakan seorang pelajar yang telah menyadari arti pentingnya kemerdekaan. Oleh karenanya mereka tetap rajin berlatih militer meskipun sudah merencanakan pembalikan gerakan organisasi. Mereka yang berjiwa muda ini sudah mengatur strategi untuk meraih kemerdekaan Indonesia sendiri melalui organisasi PETA.
Para anggota PETA memang disiapkan untuk menjadi tentara Jepang. Sayangnya, pihak Jepang tidak memberikan ketegasan akan status prajuritnya. Saat PETA masih aktif beroperasi, nama-nama seperti Jenderal Besar Soedirman dan Letnan Jenderal Soeharto menjadi nama kenangan yang pernah ikut mewarnai PETA. Mereka tahu posisi mereka hanya ditempatkan sebagai cadangan prajurit saja. Jadi mereka bukan pasukan resmi Jepang yang mendapat juga tunjangan keprajuritan.
Sama halnya dengan organisasi militer lainnya. Untuk mencapai suatu tujuan besar, tahap yang dilaksanakan harus sudah tersusun rapi dengan rencana yang matang. Termasuk pula struktur organisasi dan keanggotaannya. Tujuan kejelasan ini adalah memudahkan pendistribusian tugas bagi para anggota dan petinggi organisasi. Sehingga organisasi dapat berjalan dengan seimbang. Berikut urutan hirarkis jabatan dalam PETA.
1. Daidanco : Hanya orang-orang yang memang sebelumnya pernah memiliki pangkatlah yang dapat menduduki posisi komandan batalyon ini. Mereka yaitu para pejabat birokrasi, pemuka agama, para penegak di dunia hukum, dan abdi negara resmi lainnya.
2. Cudanco : Sedikit lebih rendah dari Daidanco. Cudanco diperbolehkan ditempati oleh para guru dan juru tulis yang memang mendedikasikan hidupnya demi dunia pendidikan yang lebih baik. Mereka boleh memimpin sebuah kompi.
3. Shodanco : Hanyalah pelajar yang pernah merasakan bangku sekolah menengah tingkat pertama atas saja yang berhak memimpin suatu peleton.
4. Budanco : Demi menjaga stabilitas organisasi, dibentuklah kelompok paling kecil dalam sebuah organisasi besar. Budanco boleh mengendalikan suatu regu dengan syarat ia pernah duduk di bangku sekolah dasar. Keberadaannya akan memudahkan pengorganisasian dan proses koordinasi.
5. Giyuhei : Anggota PETA yang belum pernah sekolah boleh saja bergabung. Namun mereka harus rela diberi tugas apa saja karena bergabungnya dia hanya diakui sebagai prajurit sukarela yang berada di hirarki paling bawah struktur organisasi PETA.
Pada tanggal 14 Februari 1945, dalam catatan sejarah nasional Indonesia menandai sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Kota Blitar, peristiwa tersebut terjadi kurang lebih setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Pada tanggal tersebut terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok Pasukan Peta (Pembela Tanah Air).
PETA (singkatan dari "Pembela Tanah Air") adalah organisasi militer yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Pendudukan Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda) yang berada di Front Pertempuran Asia Pasifik pada Perang Dunia II. Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Pendudukan Jepang di Indonesia.
Berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur. Hal ini demikian terjadi karena memang tujuan pembentukan PETA sendiri untuk mempertahankan wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.
Para komandan melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan tidak semestinya oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan, bagaikan budak yang harus bekerja tanpa mengenal batas waktu dan mendapatkan perlakuan yang intimidatif. Banyak dari Romusha yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia.
Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah dari pada anggota PETA. Hal tersebut dinilai merendahkan harga diri beberapa Periwa Peta.
Dalam buku Tentara Gemblengan Jepang(1988) yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain. Shodanco adalah jabatan dalam struktur Peta yang dapat disebut juga sebagai Komandan Pleton
Sejak bulan September 1944 sudah digelar pelbagai pertemuan yang bersifat rahasia. Shudancho Supriyadi menyusun rencana revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia, jauh dari beberapa catatan yang kita ketahui bahwa peristiwa tersebut hanya bersifat pemberontakan. Hal ini terlihat dari komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat pemberontakan PETA di Blita yang menguhubungi komandan-komandan batalyon dipelbagai wilayah lain untuk bekerja sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat.
Pada tanggal 14 Februari 1945, dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.
Namun dilain pihak ternyata secara mendadak terjadi pembatalan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, hal tersebut karena Kempetai sudah menerima informasi mengenai rencana pemberontakan yang akan dilakukan.
Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Pendudukan Jepang. Jika perlawanan dibatalkan pun tentara Pendudukan Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.
Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam perbincangan yang berlangsung, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total. Ketika Sukarno pulang ke Blitar , yang merupakan kota lokasi rumahnya dan tempat tinggal orangtuanya, datanglah beberapa perwira PETA menemuinya. "Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi, Pemimpin Perwira PETA yang menemui Bung Karno. Sukarno begitu lama terdiam, sampai akhirnya Shodancho Supriyadi menegaskan, "Kita akan berhasil!"
Sukarno akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya," ujar Bung Karno. Masih dengan nada suara tertekan karena hati kecilnya tidak setuju langkah Supriyadi dan kawan-kawan, Sukarno melanjutkan, "Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi." Shodancho Supriyadi pun menimpali pendapat Bung Karno dengan penuh semangat, "Saya menjamin. Kita akan berhasil!".
"Saya berpendapat, saudara-saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," tegas Bung Karno yang kembali mengutarakan pendapatnya. Usai bertutur kata, Bung Karno kemudian memandangi wajah-wajah para pemuda yang penuh semangat dan berani menyabung nyawa demi Indonesia merdeka. Bung Karno sadar betul bahwa tidak akan ada yang bisa menghalang-halangi tujuan para pemuda tersebut sedikit pun. Oleh karena itu, Bung Karno lantas menyatakan, "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak mati saudara-saudara semua."
"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?", tanya seorang pemuda. "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumannya otomatis," jawab Bung Karno seraya menambahkan bahwa kalau sekiranya mereka tetap bertekad bulat hendak memberontak, Bung Karno tidak lagi melarang. Jika perlu, Bung Karno akan ikut membuat rancangan pemberontakan. Akan tetapi, Bung Karno juga harus tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Jepang di Jakarta, yang sedang intens digarap Sukarno dan para tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia pada masa transisi tahun 1945. Atas beberapa pertimbangan dan persiapan yang masih diragukan kesiapannya. Shodancho Supriyadi memuruskan pada tanggal 13 Febuari 1945 bahwa pemberontakan akan tetap dilakukan. Pemberontakan ini tetap dilakukan untuk membalas perlakukan tentara Pendudukan Jepang. Supriyadi mengingatkan anggota yang akan melakukan pemberontakan untuk siap mengorbankan nya melawan tentara Jepang.
Perlu diketahui bahwa tidak semua anggota Daidan Blitar ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi, terdapat perintah untuk membunuh semua orang Jepang.
Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer tentara Pendudukan Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!".
Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak, dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon.
Shodancho Muradi mengajukan syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni:
1. Senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang; dan
2. Para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia memberikan pedangnya sebagai jaminan. pemberian pedang tersebut sebagai janji seorang samurai yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima oleh Komandan Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut pemberontakan PETA. Jepang pun melanggar janjinya.
Pasca pemberontakan sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Daidan Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili secara militer di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.
Nasib Shodancho Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara misterius tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Shodancho Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian orang juga ada yang meyakini Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar.
Dinas Sejarah TNI AD sendiri tak menutup pintu kemungkinan Supriyadi tak ikut wafat dalam pemberontakan Blitar. Majalah Vidya Yudha No 12/III/1971 memuat tulisan Mayor Soebardjo yang mengatakan bahwa ia mendengar dari Letnan Sasmita kalau Supriyadi tewas di Gunung Wilis menjelang datangnya kemerdekaan. Satu regu tentara Jepang menembaknya ketika ia tengah mereguk air minum.
Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul untuk menerima mandat tersebut hingga saat pelantikan para menteri. Kemudian saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis "Menteri Pertahanan belum diangkat". Akhirnya, karena Supriyadi benar-benar, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Oleh : Farrell Hafizh Fathana Pribadi / XI IPS 1
Tentara Sukarela Pembela Tanah Air atau PETA adalah kesatuan militer yang dibentuk Jepangdi Indonesia dalam masa pendudukan Jepang. Tentara Pembela Tanah Air dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 berdasarkan maklumat Osamu Seirei No 44 yang diumumkan oleh Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela. Pelatihan pasukan Peta dipusatkan di kompleks militer Bogor yang diberi nama Jawa Bo-ei Giyûgun Kanbu Resentai.
Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soehartodan Jendral Besar Soedirman. Veteran-veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat(BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya TNI. Karena hal ini, PETA banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.
Pembentukan PETA dianggap berawal dari surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) pada bulan September 1943 yang antara lain berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu pemerintahan Jepang di medan perang. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan PETA. Ada pendapat bahwa hal ini merupakan strategi Jepang untuk membangkitkan semangat patriotisme dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan PETA berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pendapat ini ada benarnya, karena, sebagaimana berita yang dimuat pada koran"Asia Raya" pada tanggal 13 September 1943, yakni adanya usulan sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa [1]. Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan milisi ini. Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara PETA yang berupa matahari terbit(lambang kekaisaran Jepang) dan lambang bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).
Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepangdengan blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka, dimana sebagian besar dari mereka mematuhinya. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah PETA menjadi tentara nasional, karena tuduhan blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian, tanggal 19 Agustus1945, panglima terakhir Tentara Ke-16 di Jawa, Letnan Jendral Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan pada para anggota kesatuan PETA.
Sumbangsih dan peranan tentara PETA dalam masa Perang Kemerdekaan Indonesiasangatlah besar. Demikian juga peranan mantan Tentara PETA dalam kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Soeharto dan Jendral Besar Soedirman. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga TNI. Untuk mengenang perjuangan Tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995 diresmikan monumen PETA yang letaknya di Bogor, bekas markas besar PETA.
Tujuan utama pendirian PETA memang tidak semata-mata untuk menyiapkan Indonesia merdeka. Para pemuda dan laki-laki dewasa dilatih fisiknya dengan cukup keras. Mereka dipersiapkan sebagai prajurit perang yang akan melengkapi kekurangan armada perang Jepang menghadapi sebuah perang Besar. Dikhawatirkan oleh Jepang, Amerika Serikat mencari sekutu baru hingga kekuatannya berkali lipat lebih besar. Dengan armada Amerika yang kuat dan kecanggihan peralatannya terus diperbaharui, tidak mungkin Jepang dapat bertahan tanpa tambahan prajurit yang siap dikorbankan.
Namun di sisi lain, Jepang mendidik anggota PETA untuk mencintai tanah airnya sendiri. Dikatakannya bahwa latihan yang dilakukan tersebut akan bermanfaat untuk melindungi tanah air Indonesia suatu hari nanti ketika Indonesia terancam diserang negara lain. Masih banyak negara luar yang menginginkan Indonesia menjadi negara koloninya lagi. Tanah yang subur, masyarakat ramah dan masih bodoh menjadikan Indonesia sebagai lahan investasi yang amat menjanjikan.
Keanggotaan PETA terdiri dari para pemuda berbagai tingkatan. Rata-rata anggotanya merupakan seorang pelajar yang telah menyadari arti pentingnya kemerdekaan. Oleh karenanya mereka tetap rajin berlatih militer meskipun sudah merencanakan pembalikan gerakan organisasi. Mereka yang berjiwa muda ini sudah mengatur strategi untuk meraih kemerdekaan Indonesia sendiri melalui organisasi PETA.
Para anggota PETA memang disiapkan untuk menjadi tentara Jepang. Sayangnya, pihak Jepang tidak memberikan ketegasan akan status prajuritnya. Saat PETA masih aktif beroperasi, nama-nama seperti Jenderal Besar Soedirman dan Letnan Jenderal Soeharto menjadi nama kenangan yang pernah ikut mewarnai PETA. Mereka tahu posisi mereka hanya ditempatkan sebagai cadangan prajurit saja. Jadi mereka bukan pasukan resmi Jepang yang mendapat juga tunjangan keprajuritan.
Sama halnya dengan organisasi militer lainnya. Untuk mencapai suatu tujuan besar, tahap yang dilaksanakan harus sudah tersusun rapi dengan rencana yang matang. Termasuk pula struktur organisasi dan keanggotaannya. Tujuan kejelasan ini adalah memudahkan pendistribusian tugas bagi para anggota dan petinggi organisasi. Sehingga organisasi dapat berjalan dengan seimbang. Berikut urutan hirarkis jabatan dalam PETA.
1. Daidanco : Hanya orang-orang yang memang sebelumnya pernah memiliki pangkatlah yang dapat menduduki posisi komandan batalyon ini. Mereka yaitu para pejabat birokrasi, pemuka agama, para penegak di dunia hukum, dan abdi negara resmi lainnya.
2. Cudanco : Sedikit lebih rendah dari Daidanco. Cudanco diperbolehkan ditempati oleh para guru dan juru tulis yang memang mendedikasikan hidupnya demi dunia pendidikan yang lebih baik. Mereka boleh memimpin sebuah kompi.
3. Shodanco : Hanyalah pelajar yang pernah merasakan bangku sekolah menengah tingkat pertama atas saja yang berhak memimpin suatu peleton.
4. Budanco : Demi menjaga stabilitas organisasi, dibentuklah kelompok paling kecil dalam sebuah organisasi besar. Budanco boleh mengendalikan suatu regu dengan syarat ia pernah duduk di bangku sekolah dasar. Keberadaannya akan memudahkan pengorganisasian dan proses koordinasi.
5. Giyuhei : Anggota PETA yang belum pernah sekolah boleh saja bergabung. Namun mereka harus rela diberi tugas apa saja karena bergabungnya dia hanya diakui sebagai prajurit sukarela yang berada di hirarki paling bawah struktur organisasi PETA.
Pada tanggal 14 Februari 1945, dalam catatan sejarah nasional Indonesia menandai sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Kota Blitar, peristiwa tersebut terjadi kurang lebih setengah tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Pada tanggal tersebut terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok Pasukan Peta (Pembela Tanah Air).
PETA (singkatan dari "Pembela Tanah Air") adalah organisasi militer yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Pendudukan Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera sebagai antisipasi jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda) yang berada di Front Pertempuran Asia Pasifik pada Perang Dunia II. Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Pendudukan Jepang di Indonesia.
Berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur. Hal ini demikian terjadi karena memang tujuan pembentukan PETA sendiri untuk mempertahankan wilayah Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.
Para komandan melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan tidak semestinya oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan, bagaikan budak yang harus bekerja tanpa mengenal batas waktu dan mendapatkan perlakuan yang intimidatif. Banyak dari Romusha yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia.
Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah dari pada anggota PETA. Hal tersebut dinilai merendahkan harga diri beberapa Periwa Peta.
Dalam buku Tentara Gemblengan Jepang(1988) yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain. Shodanco adalah jabatan dalam struktur Peta yang dapat disebut juga sebagai Komandan Pleton
Sejak bulan September 1944 sudah digelar pelbagai pertemuan yang bersifat rahasia. Shudancho Supriyadi menyusun rencana revolusi yang bertujuan mewujudkan kemerdekaan Indonesia, jauh dari beberapa catatan yang kita ketahui bahwa peristiwa tersebut hanya bersifat pemberontakan. Hal ini terlihat dari komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat pemberontakan PETA di Blita yang menguhubungi komandan-komandan batalyon dipelbagai wilayah lain untuk bekerja sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat.
Pada tanggal 14 Februari 1945, dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.
Namun dilain pihak ternyata secara mendadak terjadi pembatalan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, hal tersebut karena Kempetai sudah menerima informasi mengenai rencana pemberontakan yang akan dilakukan.
Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Pendudukan Jepang. Jika perlawanan dibatalkan pun tentara Pendudukan Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.
Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam perbincangan yang berlangsung, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total. Ketika Sukarno pulang ke Blitar , yang merupakan kota lokasi rumahnya dan tempat tinggal orangtuanya, datanglah beberapa perwira PETA menemuinya. "Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri," ujar Shodancho Supriyadi, Pemimpin Perwira PETA yang menemui Bung Karno. Sukarno begitu lama terdiam, sampai akhirnya Shodancho Supriyadi menegaskan, "Kita akan berhasil!"
Sukarno akhirnya mengeluarkan pendapatnya. "Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya," ujar Bung Karno. Masih dengan nada suara tertekan karena hati kecilnya tidak setuju langkah Supriyadi dan kawan-kawan, Sukarno melanjutkan, "Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi." Shodancho Supriyadi pun menimpali pendapat Bung Karno dengan penuh semangat, "Saya menjamin. Kita akan berhasil!".
"Saya berpendapat, saudara-saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang," tegas Bung Karno yang kembali mengutarakan pendapatnya. Usai bertutur kata, Bung Karno kemudian memandangi wajah-wajah para pemuda yang penuh semangat dan berani menyabung nyawa demi Indonesia merdeka. Bung Karno sadar betul bahwa tidak akan ada yang bisa menghalang-halangi tujuan para pemuda tersebut sedikit pun. Oleh karena itu, Bung Karno lantas menyatakan, "Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak mati saudara-saudara semua."
"Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?", tanya seorang pemuda. "Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumannya otomatis," jawab Bung Karno seraya menambahkan bahwa kalau sekiranya mereka tetap bertekad bulat hendak memberontak, Bung Karno tidak lagi melarang. Jika perlu, Bung Karno akan ikut membuat rancangan pemberontakan. Akan tetapi, Bung Karno juga harus tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Jepang di Jakarta, yang sedang intens digarap Sukarno dan para tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia pada masa transisi tahun 1945. Atas beberapa pertimbangan dan persiapan yang masih diragukan kesiapannya. Shodancho Supriyadi memuruskan pada tanggal 13 Febuari 1945 bahwa pemberontakan akan tetap dilakukan. Pemberontakan ini tetap dilakukan untuk membalas perlakukan tentara Pendudukan Jepang. Supriyadi mengingatkan anggota yang akan melakukan pemberontakan untuk siap mengorbankan nya melawan tentara Jepang.
Perlu diketahui bahwa tidak semua anggota Daidan Blitar ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi, terdapat perintah untuk membunuh semua orang Jepang.
Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer tentara Pendudukan Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan "Indonesia Akan Merdeka" dan menggantinya dengan tulisan "Indonesia Sudah Merdeka!".
Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk menghentikan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak, dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon.
Shodancho Muradi mengajukan syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni:
1. Senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang; dan
2. Para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia memberikan pedangnya sebagai jaminan. pemberian pedang tersebut sebagai janji seorang samurai yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima oleh Komandan Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut pemberontakan PETA. Jepang pun melanggar janjinya.
Pasca pemberontakan sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Daidan Blitar ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili secara militer di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.
Nasib Shodancho Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara misterius tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Shodancho Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian orang juga ada yang meyakini Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar.
Dinas Sejarah TNI AD sendiri tak menutup pintu kemungkinan Supriyadi tak ikut wafat dalam pemberontakan Blitar. Majalah Vidya Yudha No 12/III/1971 memuat tulisan Mayor Soebardjo yang mengatakan bahwa ia mendengar dari Letnan Sasmita kalau Supriyadi tewas di Gunung Wilis menjelang datangnya kemerdekaan. Satu regu tentara Jepang menembaknya ketika ia tengah mereguk air minum.
Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul untuk menerima mandat tersebut hingga saat pelantikan para menteri. Kemudian saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis "Menteri Pertahanan belum diangkat". Akhirnya, karena Supriyadi benar-benar, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Comments
Post a Comment