Patung Kartini Di Museum Kebangkitan Nasional
Diandra Ayu Tri Apsari XI IPS 1
Pada hari sabtu, saya pergi ke Museum Kebangkitan Nasional. Museum Kebangkitan nasional adalah museum yang dibangun sebagai monumen tempat lahirya kesadaran nasional dan organisasi Boedi Oetomo. Museum kebangkitan nasional terletak di Jl. Abdurrahman Saleh No.26. Mudah dicapai dengan kereta atau busway jika ingin menghindari kemacetan. Dulu, Museum kebangkitan nasional adalah sebuah sekolah kedokteran yang disebutSchool tot Opleiding van Inlandsche Artsenatau STOVIA.
STOVIA adalah sekolah kedokteran yang didirikan pada 1851. STOVIA merupakan perkembangan dari Sekolah Dokter Jawa. HF Roll, saat menjabat sebagai direktur Sekolah Dokter Jawa, mengusulkan ke pemerintah Belanda agar menyelengggarakan pendidikan kedokteran yang dapat disetarakan dengan pendidikan kedokteran yang ada di Eropa (Belanda). Dari usalan Roll itu munculah STOVIA. Kurikulum pendidikan di STOVIA disesuaikan dengan School Voor Officieren van gezondeid di Utrech, sehingga lulusan STOVIA diharapkan sama dengan lulusan sekolah serupa di Eropa. STOVIA menjadi lembaga pendidikan pertama yang menjadi tempat berkumpulnya para pelajar dari berbagai wilayah, karena pemerintah memberi kesempatan yang sama untuk menjadi pelajar STOVIA kepada semua anak bumi putera yang memenuhi syarat. Pelajar STOVIA umumnya memiliki kecerdasan yang cukup tinggi, karena persyaratan untuk masuk menjadi pelajar STOVIA harus melalui proses yang ketat.
Anak-anak yang sudah diterima menjadi pelajar STOVIA harus tinggal dalam asrama yang dipimpin oleh seorang pengawas Indo-Belanda yang disebut dengan suppoost.Interaksi yang terjadi dalam kehidupan asrama STOVIA menjadi sarana untuk mempelajari adat istadat suku bangsa lain, sehingga tercipta suasana saling memahami akan perbedaan kehidupan sosial dan kebudayaan. Rasa persaudaraan antar penghuni asrama sudah mulai lahir, mereka sudah tidak lagi memperdulikan perbedaan etnis, budaya atau agama.
Seiring perkembangan zaman, gedung STOVIA sudah tidak efektif lagi untuk dipakai sebagai tempat pendidikan dokter. Karena itu pemerintah Hindia belanda membangun gedung baru di Salemba yang bernama Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting.Gedung tersebut menjadi tempat pendidikan kedokteran dan rumah sakit, peralatan kedokteran yang ada didalamnya sama dengan yang ada di Eropa.
Mulai bulan Juli 1920, kegiatan pendidikan STOVIA pindah ke gedung baru di Salemba, ruang-ruang kelsd dimanfaatkan sebagai tempat belajar Sekolah Asisten Apoteker. Pelajar STOVIA diberikan kebebasan untuk memilih tempat tinggal di asrama STOVIA atau kos di rumah penduduk yang ada di daerah sekitar Salemba.
Tahun 1926, gedung STOVIA tidak lagi dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, semua aktifitas pendidikan kedokteran dipindahkan ke Salemba termasuk asrama para pelajarnya. Pemerintah kolonial Hindis Belanda kemudian memanfaatkan gedung STOVIA sebagai tempat pendidikan sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)yang berarti pendidikan dasar lebih luas atau setara dengan SMP dimasa sekarang.
Pelajar STOVIA yang sudah menyelesaikan pendidikannya mendapatkan gelar Inlandsch Arts atau dokter Bumiputra. Mereka diangkat menjadi pegawai pemerintah dan ditempatkan di daerah-daerah terpencil untuk mengatasi berbagai macam penyakit menular. Dokter-dokter muda ini akan dibekali dengan tas kulit yang berisi alat-alat kedokteran dan uang saku untuk perjalanan menuju lokasi tugas.
Masuk ke dalam gedung dapat dilihat ruang kelas dan laboratorium, asrama, tempat olahraga, kantin, dapur, dan aula.Museum Kebangkitan nasional memiliki 2.042 huah koleksi berupa bangunan, mebel, jam dinding, gantugan, lonceng, perlengkapan kesehatan, pakaian, senjata, foto, lukisan, patung, diorama, peta, maket, sketsa, dan miniatur. Museum Kebangkitan Nasuinal dibagi menjadi dua bagian. Di sebelah kanan ada Ruang Pengenalan, Ruang Sebelum Pergerakan, Ruang Awal Kesadaran Nasional, dan Ruang Pergerakan Nasional. Sedangkan di sebelah kiri ada Ruang Informasi, Ruang Dosen STOVIA, Ruang Pendidikan STOVIA, Ruang Memorial Boedi Oetomo, Ruang Asrama STOVIA, dan Perpustakaan Museum. Karena STOVIA merupakan bangunan yang nilai sejarahnya tinggi maka dijadikan Museum Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1974 pada masa jabatan presiden Soeharto. Museum Kebangkitan Nasional pun merupakan saksi lahirnya organisasi pergerakan-pergerkan bangsa, yaitu Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo, Jong Minahasa, Jong Ambon. Serta gedung ini adalah tempat beberapa tokoh ilmu seperti Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangoenkoesomo, dan R. Soetomo menimba ilmu.
Komplek museum tersebut dijadikan empat buah museum yaitu Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers dan Museum Kesehatan sampai akhirnya pada 7 Februari 1984 menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Di dalam Museum Kebangkitan Nasional terdapat patung kartini. Terlihat Kartini yang sedang mengajar murid-muridnya. Raden Ajeng Kartini,salah satu pejuang Emansipasi Wanita yang berasal dari Rembang.Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara,Jawa Tengah,pada 21 April 1879.Ayahnya adalah Bupati Jepara yang termasuk kalangan Bangsawan Jawa. Ayahnya menyekolahkan Kartini di ELS (Europese Lagere School). Disinilah Kartini kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun. Sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk ‘dipingit’. Meskipun berada di rumah, R.A Kartini tetap aktif dalam melakukan surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab ia juga fasih dalam berbahasa Belanda.
Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah, serta buku-buku yang ia baca. Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi. menurutnya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh.
R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang berbahasa belanda. Di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt. Ia juga membaca berbagai roman-roman beraliran feminis yang berbahasa belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. R.A Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi. menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju. Ia menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit. Tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita. Namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini dipaksa menikah dengan bupati Rembang oleh orangtuanya. Bupati yang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini ternyata sangat mengerti cita-cita Kartini dan memperbolehkan Kartini membangun sebuah sekolah wanita. Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya 4 hari setelah melahirkan anak satu-satunya di usia 25 tahun.
Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah lainnya.
Wafatnya Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuangan RA. Kartini karena salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku ini diterbitkan pada tahun 1911, dan cetakan terakhir ditambahkan sebuah surat “baru” dari Kartini.
Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda. pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran” dengan bahasa Melayu. Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Versi milik Pane membagi buku ini dalam lima bab untuk menunjukkan cara berpikir Kartini yang terus berubah. Beberapa translasi dalam bahasa lain juga mulai muncul, dan semua ini dilakukan agar tidak ada yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya itu.
Dengan mempelajari perjuangan kartini di Museum Kebangkitan Nasional, saya sangat bersyukur karena tanpa jasa-jasanya para wanita tidak bisa sekolah. Saya bersependapat dengan kartini bahwa wanita dan laki-laki sama-sama perlu pendidikan. Karena kartini, sekarang banyak wanita yang bekerja di berbagai bidang. Berkat Kartini, banyak wanita yang mulai mengeluarkan pendapat. Berkat Kartini, derajat laki-laki dan perempuan seimbang.
Menurut Saya, Museum Kebangkitan Nasional adalah museum yang menarik dan cocok untuk pelajar karena di museum ini menyadarkan pelajar tentang betapa pentingnya pendidikan. Tanpa golongan terpelajar, indonesia tidak bisa sadar untuk menjadi satu. Tanpa golongan pelajar Indonesia akan tetap menjadi daerah-daerah yang berjuang sendiri-sendiri. Dan mungkin kita tidak bisa merdeka jika indonesia tidak sadar untuk bersatu melawan penjajah.
Comments
Post a Comment