TUGU PROKLAMASI


Oleh : Rayhana Hakim - XI IPS 1
Tugu Proklamasi adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Tugu Proklamasi berada di lapangan  kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi (dulu Jl.Proklamasi  disebut Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat) pengunjung yang datang ke lokasi ini sebagian besar justru tertarik dengan Monumen Pembacaan Teks Proklamasi dengan dua buah patung proklamator RI Soekarno-Hatta yang mengapit relief teks proklamasi di tengahnya. Mungkin karena pengunjung ingin merasakan suasana detik-detik dibacakannya teks proklamasi itu dengan berada di depan atau sisi patung proklamator tersebut. Padahal justru Tugu Petir lah yang sebenarnya disebut sebagai Tugu Proklamasi. 

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".

Karena tepat pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 M atau 17 Ramadan 1365 H, pukul 10.00 pagi, 17 Agustus 1945. Bertempat di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No.56, Jakarta. Pembacaan naskah proklamasi yang berlanjut pengibaran Sang Saka Merah Putih hasil jahitan Fatmawati, menandakan Indonesia merdeka.

Pada awalnya, Sukarni melaporkan bahwa Lapangan Ikada (sekarang Monas) sebagai tempat yang telah disiapkan untuk pembacaan teks proklamasi. Namun setelah mendengar kabar bahwa lapangan Ikada telah dijaga oleh tentara Jepang, Ir. Soekarno mengusulkan agar upacara proklamasi dilakukan di rumahnya di jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi bentrokan dengan pihak militer Jepang.

Adapun acara sebenarnya yang direncanakan adalah sebagai berikut. 
  1. Pembacaan Proklamasi. Disampaikan oleh Soekarno didahului pidato singkat seperti di atas. Kemudian dilanjutkan dengan pidato singkat penutup berbunyi sebagai berikut. Demikianlah, saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, merdeka kekal dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita. 

2.     Pengibaran bendera Merah Putih. Pengibaran dilaksanakan oleh Suhud dan Latief Hendradiningrat. Namun secara spontan peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya, sehingga sampai sekarang pengibaran bendera Merah Putih dalam setiap upacara bendera selalu diiringi dengan lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Bendera Merah Putih ini sebelumnya sudah dipersiapkan dan dijahit oleh Ibu Fatmawati. 

  1. Sambutan Wali Kota Suwirjo dan dr. Muwardi 

Akhirnya inilah yang terjadi, berdasarkan Marwati Djoened Posponegoro ia melukiskan upacara pembacaan teks proklamasi sederhana. Tanpa protokol. Rakyat yang menunggu serta barisan pemuda sejak pagi serentak berdiri ketika diberi aba-aba Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA ketika Soekarno keluar dari kamar. 


Soekarno dan Hatta yang sudah ditunggu maju mendekati mikrofon. Mereka mengenakan baju putih-putih. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato singkat. Satu kalimatnya "Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya." 
Setelah pidato, Soekarno lalu membacakan teks proklamasi dengan khidmat. Bendera merah putih lalu dikerek, lagu Indonesia Raya berkumandang. Indonesia Merdeka. Gema kemerdekaan disiarkan wartawan ke pelosok negeri dan kepada dunia.
Puncak tugu ini berbentuk seperti petir karena kumandang proklamasi pada 17 Agustus 1945 dianggap bagaikan sambaran petir yang mengejutkan banyak orang. Tak ada pergerakan yang tampak berarti, tak ada pula panitia khusus, tapi tiba-tiba saja gema proklamasi berkumandang dan disebar melalui berbagai media, termasuk radio. Bung Karno mengibaratkan naskah proklamasi tersebut sebagai "geledek yang didengarkan oleh 5 benua dan 7 samudera." Tugu ini diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972, oleh Menteri Penerangan saat itu Bapak Budiardjo. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden M. Hatta.

Selain Tugu Proklamasi, ada dua obyek penting lain disini. Pertama adalah Tugu Peringatan Satu Tahun Proklamasi yang dibuat tahun 1946 sebagai peringatan ulang tahun pertama Republik Indonesia, dan yang kedua Monumen Proklamator Soekarno-Hatta.Monumen yang dibangun tahun 1979 ini adalah bentuk terima kasih bangsa Indonesia kepada jasa kedua proklamator. Seperti halnya monumen bersejarah yang umumnya sarat simbol, begitu pula Monumen Proklamator.

Persis di sebelah Tugu Petir, terdapat patung kedua proklamator yang berdiri sejajar, melambangkan pemimpin dwitunggal yang mewakili bangsa Indonesia, seperti tertulis dalam naskah proklamasi itu sendiri. Patung Soekarno berukuran besar yang tingginya 4,5 meter dan di sampingnya adalah patung bung Hatta yang tingginya 4,3 meter. Tinggi ke dua patung tersebut melambangkan usia  mereka berdua saat pembacaan teks proklamasi. Berat kedua patung tersebut sebesar 2 ton. Di tengah-tengah dua patung proklamator terdapat patung naskah proklamasi terbuat dari lempengan batu marmer hitam yang berskala 1:200 dan beratnya 600 kilo, dengan susunan dan bentuk tulisan mirip dengan naskah ketikan aslinya. Dan dibelakangnya dibuat sirip berjumlah 17, yang melambangkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia, tinggi sirip tersebut 8 meter yang melambangkan bulan kemerdekaan yaitu bulan Agustus. Gajuglan air berjumlah 45 untuk melambangkan tahun kemerdekaan yaitu pada tahun 1945. Tiang yang berada persis disamping patung proklamasi berjumlah 5 buah untuk melambangkan pancasila. Posisi kedua patung dibuat persis seperti peristiwa asli pada 1945.

Memang, cukup disayangkan kediaman pribadi Bung Karno yang menjadi titik sentral peristiwa proklamasi kemerdekaan sudah tidak berdiri. Pembongkaran tersebut kabarnya dilakukan oleh Bung Karno sendiri. Sempat ada wacana dibangun kembali rumah bersejarah tersebut, namun masih terkendala berbagai hal. Sama seperti wacana lain yang belum terlaksana, seperti dikembalikannya nama jalan Pegangsaan Timur yang kini menjadi jalan Proklamasi.

Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya "Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 pada masa Sekutu masih berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, "Atas Oesaha Wanita Djakarta". Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.



Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku "19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta", hasil wawancara dengan Titiek WS. Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.

Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).

Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut "Tugu Linggarjati" harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.

Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu Linggarjati. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.

Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.

Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden M. Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956).

Pada 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi. Begitu terbukanya lokasi Monumen yang diresmikan mantan Presiden Suharto pada 17 Agustus 1980 ini, mengakibatkan siapa saja, baik perorangan maupun kelompok bisa memanfaatkan lokasi itu. Tak heran, sejak era Reformas, Monumen Proklamasi dijadikan ajang demo, ajang deklarasi, ajang pentas musik, ajang kongkow, sampai ajang sepakbola di sore hari. Beban Tugu Proklamasi begitu berat, mengakibatkan kondisinya makin parah.

Ironisnya, para pemakai, pengunjung, atau kelompok-kelompok yang memanfaatkan lokasi itu, cenderung hanya bisa memakai, tetapi tidak punya kesadaran merawat. Hari demi hari, tugu proklamasi kehilangan nilai kesakralannya. Tidak ada aturan, bahkan seperti ada pembiaran jika kemudian monumen yang begitu tinggi nilai sejarahnya itu menjadi area publik terbuka.




Comments

Popular posts from this blog

Peran Sayuti Melik dalam Perumusan Naskah

Kunjungan Asik Ke Bromo

Hari Paling Berkesan Saat Studi Lapangan